PENGOLAHAN RUANG, WAKTU DAN TENAGA SESUAI IRINGAN

  SENI BUDAYA KELAS 7


BAB VI

PENGOLAHAN RUANG, WAKTU DAN TENAGA SESUAI IRINGAN



  • Bentuk penyajian tari dapat berupa tari tunggal, tari berpasangan, dan tari berkelompok.
  • Pengolahan pola lantai pada setiap bentuk penyajian tari tentu akan berbeda.
  • Tari tunggal pengolahan pola lantai dilakukan secara individu, pada tari berpasangan pengolahan lantai dilakukan berdua dan pada tari kelompok dilakukan memerlukan kerja sama.
  • Ruang, waktu, dan tenaga pada gerak tari merupakan satu  kesatuan utuh. Ketika seseorang melakukan gerak berarti telah membentuk ruang, memerlukan waktu serta memerlukan tenaga.
  • Seorang penari harus mampu mengolah ruang, waktu dan  tenaga sehingga gerak yang dilakukan tampak dinamis.
  • Seorang penari harus mampu mengolah ruang, waktu dan tenaga sehingga gerak yang dilakukan tampak dinamis.
  • Pengolahan ruang, waktu, dan tenaga di dalam gerak tari berkaitan dengan beberapa karakteristik. Karakteristik gerak di dalam ruang, waktu, dan tenaga antara lain;
(1) Menggunakan tubuh manusia sebagai instrumen dan gerak sebagai mediumnya
(2) Terkait dengan ruang, tenaga, waktu, dan aliran
(3) Terkait dengan ritme
(4) Mempunyai bentuk dan gaya
(5) Alat komunikasi non verbal
(6) Mengungkapkan emosi atau perasaan dan pikiran manusia,
(7) Terkait dengan budaya
.
  • Ketika seseorang melakukan gerak ketujuh, hal tersebut muncul secara bersamaan. Inilah pentingnya mengolah gerak karena merupakan bahasa komunikasi nonverbal sehingga memiliki makna dan menyampaikan pesan.


Mengenal Tokoh Tari 




Didik Nini Thowok terlahir dengan nama Kwee Tjoen Lian. Karena sakitsakitan, orang tuanya meng ubah namanya menjadi Kwee Tjoen An. Ayah Didik, Kwee Yoe Tiang, merupakan seorang peranakan Tionghoa yang ”terdampar” di Temanggung, sedang kan ibunya, Suminah, adalah wanita Jawa asli, asal Desa Citayem, Cilacap. Didik adalah sulung dari lima bersaudara (keempat adiknya perempuan). Setelah G30S/PKI, keturunan Tionghoa diwajibkan mengganti nama Tionghoa mereka menjadi nama pribumi sehingga nama Kwee Tjoen An pun menjadi Didik Hadiprayitno.

Kehidupan masa kecil Didik penuh keprihatinan. Ayahnya bisnis jual beli kulit kambing dan sapi. Ibunya membuka kios di Pasar Kayu. Hidup bersama mereka adalah kakek dan nenek Didik. Keluarga Didik harus hidup pas-pasan. Sebagai anak dan cucu pertama, Didik selalu dimanja oleh seluruh anggota keluarga. Selain itu, Didik tidak nakal seperti  anak laki-laki seumurnya. Ia cenderung seperti anak perempuan dan menyukai permainan mereka, seperti pasar-pasaran (berjualan), masak-masakan, dan ibu-ibuan. Saat kecil pun, Didik diajari oleh neneknya keterampilan perempuan seperti menjahit, menisik, menyulam, dan merenda.
 
Saat masih sekolah, Didik suka menggambar dan menyanyi (suaranya bagus terutama saat menyanyi lagu Jawa). Setelah mengenal dunia tari akibat sering menonton pertunjukan wayang orang yang berupa sendratari, Didik pun bertekad untuk mempelajari tari. Sayangnya perekonomian keluarga yang paspasan menyulitkan langkah Didik untuk belajar. Akhirnya, Didik meminta teman sekelasnya Sumiasih, yang pandai menari dan menyanyi lagu Jawa, untuk mengajarinya tari-tarian wayang orang. Menari bukan hal yang sulit dilakukan karena selain tubuhnya yang lentur, Didik juga berbakat. Guru Didik berikutnya adalah Ibu Sumiyati yang mengajarinya dan ketiga adiknya, tari Jawa klasik gaya Surakarta. Didik membayar guru ini dari hasil menyewakan komik warisan kakeknya. Didik juga belajar tarian Bali klasik dari seorang tukang cukur rambut.
 
Didik berguru pada A. M. Sudiharjo, yang pandai menari Jawa Klasik juga sering menciptakan tari kreasi baru. Didik ikut kursus menari di Kantor Pembinaan Kebudayaan Kabupaten Temanggung. Salah satu gurunya adalah Prapto Prasojo, yang juga mengajar di padepokan tari milik Bagong Kussudiarjo di Yogyakarta.

Koreografi tari ciptaan Didik yang pertama dibuat pada pertengahan 1971. Tarian itu diberi judul ”Tari Persembahan”, yang merupakan gabungan gerak tari Bali dan Jawa. Didik tampil pertama kali sebagai penari wanita; berkebaya dan bersanggul saat acara kelulusan SMA tahun 1972. Saat itu, Didik juga mempersembahkan tari ciptaannya sendiri dengan sangat luwes. Didik terus mengembangkan kemampuan tarinya dengan berguru ke mana-mana. Didik berguru langsung pada maestro tari Bali, I Gusti Gde Raka, di Gianyar. Ia juga mempelajari tari klasik Sunda dari Endo Suanda; Tari Topeng Cirebon gaya Palimanan yang dipelajarinya dari tokoh besar Topeng Cirebon, Ibu Suji. Saat pergi ke Jepang, Didik mempelajari tari klasik Noh (Hagoromo), di Spanyol, ia pun belajar tari Flamenco.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menyanyi dengan Satu Suara

Memainkan Alat Musik Sederhana

Seni Lukis